MENTAL PREMAN DIKALANGAN BOCAH
Mental Preman dikalangan Bocah
Pasal 28 B ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Tim Peyusun:
13513131
Mutia Apriliani
13513132 Luthfiana Rahmasari
13513133 Pepy Hapita Sari
13513138 Sidiq Arya Putra
13513139 M. Dian Hikmawan
13513140 Dio Prananda Dwi Ramdhani
13513152 Putri Widya Saweri Gading Umar
13513164 Mia Erpinda
13513166 Taufik Hidayat
13513168 Hardanto Ridho Ramadhan
13513169 Galis Asmara
13513175 Yosi Mutiara Pertiwi
13513176 Ferdi Muhammad
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT selaku Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Mental Preman dikalangan Bocah”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi nilai pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Kami juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Kami juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jogjakarta, 25 Oktober 2014
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II POKOK PERMASALAHAN
2.1 Rumusan Masalah
1.1. Latar Belakang
BAB II POKOK PERMASALAHAN
2.1 Rumusan Masalah
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Maraknya kasus kekerasan dan pembullyan pada anak tingkat sekolah dasar
3.2. Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
3.3. Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
BAB IV
KESIMPULAN
4.1.
Kesimpulan
BAB V SARAN
5.1 Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak-hak Anak dalam berbagai Undang-Undang, antara lain
UU No. 39/1999 tentang HAM maupun UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
dengan jelas mengatakan bahwa Akta Kelahiran menjadi hak anak dan merupakan
tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Dalam UU tersebut dikatakan juga
bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Untuk dapat berkembang anak melakukan berbagai
cara agar memahami dunia, melalui dunia pendidikan. Pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan untuk memberikan
pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan. Pendidikan merupakan usaha manusia
untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, dalam berbagai bentuk
pembelajaran yang diselenggarakan secara formal, non-formal dan informal.
Adapun pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan banyak komponen-komponen
pendukung disekitarnya seperti sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, kepala
sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan. Idealnya
semua komponen dapat menjalankan peran, tugas dan tanggungjawabnya dengan baik.
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, memberikan perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,
karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi
yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan
Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak
beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi.
Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun
masyarakat dewasa ini.
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal,
fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap
anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak.
Kekerasan di
sekolah masih saja terjadi, salah satunya menimpa Syaiful Munif siswa SD Cinere
Depok yang ditusuk oleh teman sebayanya. Lalu, masih ada kekerasan yang
lagi-lagi menimpa pada siswa SD di Bukittinggi. Ebih ironis lagi hal ini
tersebar luaskan karena beredarnya video kekerasan yang menunjukkan bagaimana
siswa SD ini diejek, bahkan dipukuli oleh temannya sendiri. Dalam
video berdurasi 1 menit 52 detik memperlihatkan sejumlah pelajar SD baik
laki-laki maupun perempuan memukul dan menendang seorang anak perempuan berjilbab.
Korban tampak terpojok di sudut kelas dan pasrah menjadi bulan-bulanan para
pelaku.Sementara teman-teman lainnya terdengar riuh menyoraki hingga
penganiayaan itu terus berlangsung. Diduga, aksi tak patut itu terjadi saat jam
kelas kosong atau tidak ada guru. Belum diketahui juga pelaku yang sengaja
merekam kejadian itu.
Berkaitan
setelah beredar video kekerasan tersebut, berita kekerasan itu muncul dari
daerah Temanggung dimana sang Ayah dari korban kekerasan ini telah mengupayakan meminta penyelesaian ke pihak sekolah dan Dinas
Pendidikan, tetapi sampai sekarang tidak ada langkah apapun, hingga akhirnya
memberanikan diri mengangkat berita ini ke muka publik.
BAB II
POKOK PERMASALAHAN
2.1 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu :
1.
Apa yang dimaksud dengan mental preman?
2.
Mengapa mental preman bisa ditumbah pada diri anak
sekolah dasar?
3.
Siapa saja yang terlibat dan menjadi faktor tumbuhnya
mental preman dikalangan anak berpendidikan tingkat sekolah dasar?
4.
Bagaimana tindak kekerasan di sekolah itu bila
ditinjau dari aspek hukum, sosial-budaya, dan aspek pendidikan?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Maraknya
kasus kekerasan dan pembullyan pada
anak tingkat sekolah dasar
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dalam empat bulan (Januari-April
2014), ada 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Dari 622 kasus itu, kata
Komisioner KPAI Susanto, tertinggi kekerasan seksual 459 kasus, kekerasan
psikis sebanyak 94 kasus, dan kekerasan fisik (penganiayaan) 12 kasus.
Anak dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal
28 B ayat 2 yaitu : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Kegiatan interaktif antara komponen pendidikan seperti; guru dengan siswa
atau siswa dengan siswa, bergeser dari makna interaksi yang sesungguhnya. Anak,
sebagai siswa di sekolah, mendapat tindakan yang tidak nyaman dan bahkan
kekerasan dari siswa lainnya. Anak mendapat tindakan Bullying dari teman sekolahnya.
Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang diatur
dalam Pasal 54, UU No. 23 Tahun 2002 isinya : “Anak di dalam dan di lingkungan
sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru,
pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau
lembaga pendidikan lainnya.”
Kekerasan di
sekolah masih saja terjadi, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, baik itu di
Cinere, Depok ataupun di Bukittinggi dan juga di daerah Temanggung.
Jenis-jenis Kekerasan yang
Sering Diterima Anak:
1.
Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah
diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical
abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15
tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda
panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini
selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban
meninggal
2.
Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering
diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti
ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan
seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak
menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3.
Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga
sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara
verbal. Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang
membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan
hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi
pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit
4. Kekerasan secara seksual
Bentuk
kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak
kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali
menimbulkan luka secara fisik.
3.2. Peran
Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
Sebagai
langkah konkrit terhadap peran serta pemerintah, masyarakat dan orang tua yaitu
dengan tidak melakukan perlakuan eksploitasi, misalnya tidakan atau perbuatan
memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi,
keluarga, atau golongan. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
:
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5. Pelibatan dalam peperangan.
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5. Pelibatan dalam peperangan.
Serta setiap
anak memperoleh perlidungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan
penjatuhan hukuma yang tidak manusiawi, mamperoleh kebebasan sesuai hukum.
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap
anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik
dan/atau mental.
Peran serta
dari masing-masing pihak sangat diperlukan dalam memberikan kontrol terhadap
tindakan penyelewengan tersebut. Sebagai contoh kasus pelecehan terhadap anak
terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas
bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis
anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan
Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.
Kasus
kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini
terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional
memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi
di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak
diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari
jeratan hukum.
Pada tahun 1989 PBB mensahkan sebuah
dokumen yang berisi tentang hak-hak anak yang diberi nama Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi ini
merupakan perjanjian antar bangsa-bangsa mengenai hak-hak anak. Konvensi ini
terdiri dari 54 pasal yang memuat hak-hak anak dan kewajiban Negara-negara
peserta. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 193 negara didunia.
Meratifikasi berarti terikat dengan isi konvensi dan akan melakukannya pada
tingkat pemerintahan masing-masing Negara peserta.
Pada tanggal 25 Agustus 1990,
pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi
Konvensi Hak Anak. Keppres ini kemudian berlaku secara resmi pada bulan Oktober
1990 dan mengikat Indonesia untuk mengakui hak-hak anak sesuai yang ada di
dalam Konvensi Hak Anak.
Konvensi Hak Anak membuat empat
prinsip yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak, yaitu; Non diskriminasi, hak
hidup dan kelangsungan hidup, kepentingan terbaik bagi anak dan penghargaan
terhadap pendapat anak.
Khusus yang berkaitan dengan
kekerasan terhadap anak, di dalam pasal 37(a) dinyatakan bahwa “Tidak
seorangpun anak akan menjadi sasaran penganiayaan atau perlakuan lain hukuman
yang keji, tidak manusiawi atau merusak.” Larangan penganiyaan maupun hukuman
yang keji sebenarnya tidak hanya berlaku bagi anak, akan tetapi bagi seluruh
orang, karena ini melanggar hak asasi manusia.
Secara umum konvensi ini memberikan
perlindungan dan penghargaan terhadap anak, agar anak dapat merasakan
seluruh-hak-haknya, sehingga terjauh dari tindakan kekerasan, pengabaian dan
sebagainya. Dengan demikian anak-anak dapat “menjalani hidup sebagai pribadi
dalam masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya semangat perdamaian, penghargaan
atas martabat manusia, saling menghargai, kebebasan dan kesetiakawanan.
Jika berbicara tentang perlindungan
anak di Indonesia, maka salah satu rujukannya adalah UU. No. 23 tahun 2002
tentag perlindungan anak. Undang-undang ini sedikit banyak mengadopsi beberapa
isi yang ada di dalam konvensi hak anak. Meskipun undang-undang ini telah
berusia kurang lebih 6 tahun, akan tetapi harus diakui bahwa masih sangat
banyak pihak yang belum mengetahuinya. Jangankan masyrakata luas, para birokrat
yang berada di dalam pemerintahan belum semuanya pernah membaca undang-undang
ini.
Dalam kaitan dengan kekerasan yang menimpa
anak-anak, undang-undang ini memberikan ketentuan yang sangat tegas. Tentang
kekerasan fisik, pada pasal 80 dinyatakan sebagai berikut:
(1)
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Selanjutnya secara khusus,
undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari
tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan
sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru,
pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya.
Jika melihat undang-undang tersebut,
sesunggunya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan
tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hokum. Tindakan kekerasan
dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak
pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
3.3.
Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
Melihat
banyaknya tayangan televisi yang cenderung membentuk sikap dan prilaku anak
kepada tak baik, maka KPI berkewajiban melakukan bimbingan dan pengawasan.
Agama manapun juga melarang siaran yang tidak baik. Mengingat hal itu,
anak-anak harus pandai memilih siaran tak baik dan sekaligus melakukan kritisi
terhadap bentuk-bentuk siaran tidak mendidik itu.
KPI sudah
menetapkan beberapa larangan untuk tidak ditayangkan dan disiarkan seperti yang
berbau SARA, porno grafi dan pornoaksi, persoalan privasi, menghasut serta
berbau fitnah. Anak-anak jangan hanya melihat tayangan sinetron di televisi
dari sisi percintaan, kekerasan dan pembagian harta warisan saja, karena hal
itu akan mengajarkan kita lebih banyak kepada sikap negatif.
Namun, para
anak-anak harus dapat memilih dan memilah berbagai tayangan yang disajikan
televisi yang mampu memotivasi menumbuhkan kemauan berbuat kepada nilai-niali
positif. Walaupun diakui sangat sedikit sinetron yang ditayangkan bisa menjadi
contoh untuk berbuat kebaikan. Dalam kehidupan yang glamour atau serba tak
terkendali saat ini, kita lupa baik orang tua apalagi anak-anak untuk memilah
dan memilih mana tontonan yang bermanfaat atau tidak. Saat ini banyak orang tua
yang lalai dalam membimbing anak ketika belajar, sehingga keseriusan anak tidak
terkonsentrasi untuk belajar di rumah.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Anak dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi,
memberikan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan
psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan
perlindungan
Agar setiap
anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Oleh karenanya perlu dilakukan
upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi.
BAB V
SARAN
Solusi buat orang tua atau wali orang tua :
1.1. Satukan
Persepsi dengan Istri/Suami. Sangat penting bagi
suami-istri untuk satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi
anak-anak di sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan
semakin tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek,
misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke sekolah,
apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk apakah perlu lapor
ke polisi.
1.2. Pelajari dan
Kenali Karakter Anak. Perlu kita sadari, bahwa
satu satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya
karakter yang mudah dijadikan korban. Sikap “cepat merasa bersalah”, atau
penakut, yang dimiliki anak. Dengan mengenali karakter anak, dapat
mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak, atau setidaknya
lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap secara mental).
1.3. Jalin
Komunikasi dengan Anak. Tujuannya adalah anak akan
merasa cukup nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak nyaman) bercerita
kepada orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini menjadi kunci
berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus sudah terpecahkan
atau belum.
1.4. Jangan
Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar
anak-anak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya
kasus-kasus bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan
rasa percaya diri pada anak. Kalau anak
punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu ditanamkan sebuah
kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan bukan sesuatu yang
memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh ledekan teman, karena hukum di
dunia ledek-meledek adalah “semakin kita terpengaruh ledekan teman, semakin
senang teman yang meledek itu”.
1.5. Masuklah di
Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa
seringkali anak (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau orang
tuanya turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak menderita karena
diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang tuanya turut
campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’ tambahan, yaitu
mencap korbannya sebagai “anak mami”. Oleh karena itu, mesti benar-benar
mempertimbangkan saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan
masalah. Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan,
(2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau kasusnya adalah
pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar, (4) Ada indikasi bahwa
prestasi belajar anak mulai terganggu
1.6. Bicaralah
dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk
ikut campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak apakah akan
langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya, atau gurunya.
1.7.Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus, anak-anak kadang merespon intimidasi yang
dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu sama
saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti. Kalau ada
masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan dengan ‘lari’ ke
sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu terjadi hampir di
semua sekolah.
2. Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:
- Mengusahakan untuk
mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian
tersebut bukan kesalahannya.
- Membantu anak mengatasi
ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal
itu terjadi. Guru harus dapat menerangkan dalam bahasa sederhana dan mudah
dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying
yang ia alami.
- Meminta bantuan pihak
ketiga (psikolog atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan anak
ke kondisi normal, jika dirasakan perlu.
- Mengamati perilaku dan
emosi anak , bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu
(ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi pelaku
di kemudian waktu). Bekerja sama dengan pihak sekolah (guru) dan mintal
mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan emosi atau fisik anak.
Mewaspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan anak di
rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua / guru / pengasuh).
- Membina kedekatan dengan
teman-teman sebaya anak dengan cara mencermati cerita mereka tentang anak.
Mewaspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
- Meminta bantuan pihak ke
tiga (psikolog atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.
7. http//www.digilib.itb.ac.id
8.http//www.icttemanggung.com
9.http//www.oneindoskripsi.co
9.http//www.oneindoskripsi.co
10.http//www.geocities.com
http://www.oxfordshire.gov.uk/cms/content/anti-bullying
www.bullying.com.au
www.tribunnews.com
Komentar
Posting Komentar