Pengelolaan lingkungan Terpadu Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan




Pengelolaan lingkungan Terpadu  Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan
Tugas Review Jurnal MK Pengelolaan Lingkungan Tambang










YOSI MUTIARA PERTIWI 13513175
LISA GUSTIA NORMA MUNGKARI 13513184

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


Judul
Pengelolaan lingkungan Terpadu  Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan
Penulis
Hidir Tresnadi Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral, BPPT, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia Hidir.tresnadi@bppt.go.id
Jurnal
NATIONAL CONFERENCE ON CONSERVATION FOR BETTER LIFE 2014
November,22th 2014, Semarang State University - Central Java – Indonesia

Abstrak
Kabupaten Tanah Laut memiliki potensi sumberdaya mineral dan batubara dan telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan(WP) dalam tata ruang nasional, yang mempunyai WUP Mineral Logam,  WUP Batubara, dan WUP Bukan Logam dan Batuan.  WUP Logam, khususnya bijih besi tersebar di DAS S Tabanio yang tercakup di Kecamatan Pelaihari, Bajuin dan Takisung. Penambangan ini  harus mematuhi PerMenLH no 21 tahun 2009 tentang baku mutu air limbahnya. Sedang WUP batubara terdapat di DAS  S Kintap, DAS S. Asam-asam, DAS S. Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah yang meliputi Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Jorong dan Kecamatan Kintap, yang dalam kegiatan penambangannya maka harus patuh pada baku mutu air limbah pertambangan batu bara (KepMenLH No 113 tahun 2003). Pengelolaan lingkungan industri penambangan di Kabupaten Tanah Laut harus dilakukan secara berbeda karena karena daerah Kabupaten Tanah Laut bagian timur merupakan daerah penambangan batubara sedang daerah Kabupaten Tanah Laut bagian tengah merupakan kegiatan penambangan bijih besi dan mineral logam lainnya. Sehingga sumber pencemarnya pun berbeda, pencemar utama lingkungan terhadap DAS di Jorong, Kintap, Batu Ampar, dan Panyipatan adalah Air asam tambang (AMD) dan logam berat seperti Fe, Mn dan Al, sedang kemungkinan pencemar utama terhadap DAS Tabanio di Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung, adalah logam berat Cr dan logam berat lainnya seperti Fe, Mn, Cu, Zn, dan Pb. Jika dibandingkan dengan profile lingkungan daerah kabupaten Tanah Laut, maka pada saat ini dampak lingkungan kegiatan penambangan hanya terjadi di lokasi penambangan saja, baik Cr pada tambang bijih besi di Sumber Mulia, maupun AMD yang mengakibatkan penurunan pH di lokasi-lokasi yang berkaitan dengan lahan gambut dan keberadaan lapisan batubara., seperti di Kitap dan Jorong. Meski profile lingkungan yang ada menunjukkan bahwa beberapa parameter telah melebih batas ambang, seperti kekeruhan, konsentrasi NO3, NH3, BOD, COD, dan DO di Bajuin dan Jorong tapi penyebabnya belum jelas apakah berasal dari pertambangan atau kegiatan lainnya. Namun sekarang dan masa datang kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan harus dilakukan secara terpadu di sepanjang DAS yang ada dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang menggunakan lahan di sepanjang DAS yang ada, dengan titik berat AMD di Kintap, Jorong, Batu Ampar dan Panyipatan; dan Cr dan logam berat lain di Bajuin, Pelaihari dan Takisung.  
Kata Kunci : Batubara, Bijih Besi, DAS, pH, Pengelolaan Lingkungan Terpadu.  
Tujuan Penelitian
Pengelolaan lingkungan Terpadu  Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan  diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan  dan mampu memberikan alternatif pengelolaan yang berwawasan lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Latar Belakang

Kabupaten Tanah Laut memiliki potensi sumberdaya mineral dan batubara,  baik yang sudah ditambang maupun yang belum. Endapan yang sudah ditambang adalah bijih besi yang tersebar di Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung. Endapan bijih besi memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan genesa dan keterdapatannya pada batuan induknya. Kabupaten Tanah Laut juga memiliki endapan batubara yang tersebar di Kecamatan Kintap, Jorong. Batu Ampar dan Panyipatan. Selain itu juga terdapat sebaran bahan tambang mineral non logam yang terdapat di Kecamatan Bajuin, Pelaihari, Takisung, Kintap, Jorong. Batu Ampar dan Panyipatan. Oleh karena perlu dilakukan pengelolaan lingkungan secara terpadu terhadap penambangan bijih besi, batubara dan mineral non logam dan batuan yang terdapat di wilayah ini.
Dalam penambangan bijih besi, ada peraturan yang harus dipatuhi oleh setiap kegiatan pertambangan bijih besi, PerMen LH No 21 Tahun 2009. Sedang dalam penambangan batubara maka harus mematuhi baku mutu air limbah penambangan batubara sesuai dengan KepMenLH No. 113 of 2003. Pada sisi lain Profil Lingkungan Hidup di Kabupaten Tanah Laut menjadi penting sebagai batas ambang kualitas lingkungan daerah yang dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan untuk mengelola lingkungan dalam menjaga dan melindungi kesehatan masyarakat. Dalam pengelolaan dampak lingkungan bijih besi yang perlu diperhatikan adalah timbulnya pencemaran logam berat, seperti Fe, Mn, Cr, dll karena batuan pembawa bijih besi merupakan batuan ultrabasa yang kaya akan logam berat. Sedang pada dampak lingkungan pertambangan batubara adalah terjadinya pencemaran oleh pembentukan air asam tambang yang menimbulkan terjadinya penurunan pH pada badan air di tambang dan sekitar tambang.
Umumnya lebih daripada 90 % beban logam di sungai akan ditransportasikan dalam fasa padatan, yang terserap sebagai coating (lapisan) pada permukaan partikel atau bergabung dalam butiran-butiran mineral.  Dengan demikian proses geomorfik fluivial menjadi penting dalam transportasi dan berpindahnya logam-logam berat yang berasal dari lokasi-lokasi tambang.
Air asam tambang (AMD) merupakan masalah lingkungan di negara-negara yang memiliki sejarah industri pertambangan yang lama hingga sekarang. Pencegahan pembentukannya atau mitigasi AMD dari sumbernya biasanya lebih disukai, meski terkadang tidak cocok untuk dilakukan di semua tempat, karena harus mengumpulkan, mengolah dan menyalurkan air tersebut yang sudah memiliki pH normal ke lingkungan di sekitarnya. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk remediasi air asam tambang, baik melalui mekanisme kimia dan biologis untuk menetralisir AMD dan menghilangkan logam dari drainase air tambang.
Teknologi pengolahan air asam tambang konvensional mahal dalam pengoperasiannya. Sehingga salah satu metoda yang yang disukai adalah menggunakan passive treatment yang berbiaya rendah dalam menghasilkan air bebas polusi, dan mendorong tanggung jawab komunitas masyarakat mengolah air asam tambang melalui penggunaan sistim pengolahan air asam tambang dengan wetlands. Wetlands ini berfungsi menyerap dan mengikat logam berat dan mengendapkannya secara perlahan sebagai endapan sedimen untuk menjadi bagian dari siklus geologi.

Metode Penelitian
a.       Studi literatur daerah penelitian
b.      Survey lapangan daerah penelitian
c.       Pengambilan contoh air dan tanah Daerah Penelitian, di Sumber Mulia, Pelaihari
d.      Pengujian Laboratorium sampel penelitian
e.       Pengolahan dan penyajian data dan informasi penelitian, yang disajikan baik dalam bentuk statistik grafis maupun informasi geografi
f.       Analisis dan Pembahasan
g.      Kesimpulan dan Saran

Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan profill lingkungan hidup yang ada (KLH Kab Tanah Laut, 2007), maka telah terjadi :
a.       Di Pelaihari, desa Bajuin, Belayang dan Telaga, pencemaran air permukaan, yang lebih disebabkan oleh kekeruhan akibat sedimentasi yang tinggi. Di kecamatan Jorong, di desa Sawarangan, Jorong, Asam-asam, dan Muara Asam-asam sedang di Kecamatan Kintap terjadi di Muara Kintap dan Kintapura.
b.      Di wilayah pesisir, Telaga dan Tampang,  terjadi tingkat keasinan akibat kandungan klorida,
c.       Di Pusat Kota, Jln Datu Insad, Sungai Bakar, Tampang dan Telaga,  kandungan Mn dan Fe Total berada di atas Baku Mutu. Sementara di Jorong, terjadi di desa Jorong dan Simpang Empat Asam-asam
d.      Dari 20 sampel air yang analisis di laboratorium terhadap kadar bakteri colli total, hanya 4 sampel yang mempunyai nilai di bawah baku mutu air klas I yang mempunyai toleransi (ambang) kandungan bakteri colli dalam air 1000 MPN/100 ml. Sementara dari 16 sampel yang dianalisis di wilayah kajian mempunyai kandungan bakteri colli berkisar antara 1100 - 2400 MPN/100 ml, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tubuh perairan pada semua satuan ekosistem di wilayah kajian sudah tercemar oleh bakteri colli. . Selain itu bakteri colli total ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi di Sungai Asam-asam.
e.       Berdasarkan hasil pengukuran pencemaran suara di lapangan, ternyata hampir semua lokasi yang dijadikan sampel, terutama di wilayah permukiman, mempunyai index kebisingan di atas ambang yang diperkenankan, Dari 28 lokasi yang disurvei, hanya 9 lokasi yang masih di bawah syarat kebisingan. Berdasarkan data yang disajikan di atas, terbukti bahwa kondisi sebagian lokasi penambangan di wilayah kajian masih memenuhi Baku Mutu Udara Ambient Nasional (BMUAN) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999, sehingga untuk saat ini belum menjadi masalah.
f.    TSS (residu terlarut), paramater yang erat dengan kekeruhan, karena merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kekeruhan pada tubuh perairan, yang disebabkan karena proses alami berupa sedimentasi yang tersuspensi di tubuh perairan. Ambang baku mutu untuk TSS sebesar 50 mg/lt.   Lokasi-lokasi yang menunjukkan TSS di atas baku mutu air kelas I terdapat  di  Kecamatan Pelaihari, di desa Bajuin, Sungai Bakar, Telaga, dan Tampang, sedang Kecamatan di Jorong, di Sawarangan, Jorong, Sipang Empat Asam-asam (Profil LH Kab Tanah Laut 2007)
g.      TDS yang tinggi juga ditemukan di sumur pada permukiman di Sabuhur.
h.       Konsentrasi NO3, NH3, BOD, COD, dan DO yang melebihi Baku Mutu terjadi di kecamatan Pelaihari di desa Sungai Bakar, Telaga, Tampang dan Bajuin; di Kecamatan Jorong, di desa Sawarangan, Sabuhur, Jorong dan Muara Asam-asam; Di Kecamatan Kintap, di desa Kintapura dan Sungai Balarangan
i.        Di Desa Bajuin, Tampang, Telaga dan pusat Kota, Jln datu Insad, adanya pH yang rendah yang berakibat pada keasaman air, Keasaman pada tubuh perairan dapat disebabkan oleh keberadaan lapisan gambut atau batubara, interaksi antara batuan dan air, serta produk dari pertambangan terbuka yang marak, terutama di Jorong dan Kintap. Pengukurann di Pelaihari memiliki pH sekitar 5,92 hingga 6 pada air tanah, di Kecamatan Jorong, di desa Simpang Empat Asam-asam pH mencapai 2,9 pada air permukaan. DI Kecamatan Kintap berkisar antara 3,53 hingga 6,01
j.        Sungai Tabonio merupakan sumber air baku PDAM Pelaihari. Menurut pihak PDAM, Sungai Tabonio tercemar oleh limbah penambangan biji besi. Hasil pemeriksaan laboratorium, Sungai Tabonio tercemar oleh Fe (besi). Kadarnya mencapai 25,356 miligram per liter dari standar baku mutu (batas ambang) 5 mg. Keadaan ini berarti 5 kali lipat dari kadar standar.
Parameter pH yang rendah (asam), serta tingginya DHL yang dijumpai di penambangan emas dengan nilai mencapai 1.500 mmhos/cm (agak asin). TDS dan Fe (total), yaitu di embung tambang bijih besi dan sumur monitoring pada TPA (hampir mencapai 4000 ppm), sementara kandungan TSS serta logam berat Mn ditemukan di dua lokasi penambangan emas dengan konsentrasi besar (>15 ppm). Pada lokasi penambangan ini unsur sulfat juga terdeteksi cukup tinggi (>80 ppm).

3.1.            Pengelolaan Lingkungan Penambangan Bijih Besi
Di daerah Kecamatan Pelaihari, Bajuin dan Takisung daerah penambangan bijih besi terdapat pada DAS Tabanio dengan luas 62,300 Ha (62,3 km2).

Di Tambang Bijih Besi Pemalongan, Sumber Mulia dan Sungai Bakar, sungai di sekitarnya tak memiliki kekeruhan yang berarti, airnya tetap jernih. Berati bahwa kegiatan penambangan tidak menumbulkan kekeruhan dalam kegiatannya. Namun ketika hujan maka air yang berasal dari sistim penirisan tambang mengakibatkan kekeruhan pada air di sekitarnya. Meski kekeruhan tersebut tidak hanya berasal dari kegiatan penambangan, karena secara alami pada saat hujan kekeruhan juga berasal dari air limpasan yang berasal dari tanah terbuka yang berada di sekitar aliran sungainya atau dari daerah hulunya akibat erosi dan bukaan lahan oleh kegiatan manusia seperti perkebunan dll. Yang patut dikontrol adalah lokasi titik penaatan kualitas lingkungan pada setiap lokasi penambangan, yang merupakan batas penaatan keluaran dari sistim remediasi drainase penambangan, yang harus memenuhi  baku mutu lingkungan pada peraturan yang ada.
3.2.            Pengelolaan Lingkungan Penambangan Batubara
Daerah penambangan batubara terdapat di Kecamatan Kintap, Jorong, Batu Ampar dan N
Panyipatan, sehingga pengelolaan dampak di tujukan secara mikro di daerah penambangan dan secara regional di daerah aliran sungai yang terdapat di keempat kecamatan, yaitu DAS Kintap, DAS Asam-asam, DAS Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah, yang secara keseluruhan luasnya 268526,24 Ha.

Dampak penambangan batubara berupa air asam tambang akan terbentuk pada sistim drainase air penambangannya jika tidak dilakukan remediasi terhadap penurunan pH. Jika pada sistim drainase terjadi pelepasan logam berat, maka remediasi dapat ditambahkan dengan  material absorbent yang dapat menyerap logam-logam tersebut, misalnya sabut kelapa, limbah organik lainnya dll. Selain itu dapat pula dilakukan dengan phytoremediation, yang mempergunakan tanaman yang dapat menyerap logam-logam berat seperti eceng gondok, dll dari badan air.
3.3.            Pengelolaan Lingkungan Penambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pengelolaan lingkungan tambang bahan galian lainnya, umumnya dilakukan upaya untuk mencegah terbentuknya kekeruhan pada badan air di sekitar penambangan. Namun ini tetap memerlukan penelitian kemungkinan terjadinya pencemaran oleh logam-logam berat. Karena pencemaran yang terjadi selain dapat berasal dari bahan galian, juga dapat berasal dari country rock atau host rock atau batuan sekitar bahan galian tambang berada. Jadi perlu tetap dilakukan pengawasan dan pemnatauan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya pencemaran di tambang terhadap badan-badan air di sekitar tambang, yang dapat mencemarai DAS yang ada di dekatnya.
3.4.            Pengelolaan DAS Lingkungan Daerah penambangan
Secara hidrogeologi maka, daerah penelitiain memiliki karakteristik batuan  tidak cukup mampu untuk menyimpan air, butir tanah didominasi fraksi lempung yang relatif mudah jenuh air dan kedap, sehingga pada daerah-daerah yang rendah (lowland) menjadi banjir dan penggenangan setiap tahunnya. Daerah-daerah di sepanjang aliran sungai, sekitar rawa-rawa, dataran fluvio-marin, dan daerah sekitar muara, merupakan daerah paling tinggi mendapatkan ancaman banjir dan penggenangan. Daerah Aliran Sungai (DAS) Tabanio termasuk dalam daerah rawan bahaya banjir tinggi.

Daerah penambangan ini belum dipetakan secara rinci geomorfologi dan hidrogeologinya, yang dilakukan untuk mendapatkan mitigasi bencana dampak pertambangan secara mikro terhadap morfologi bumi, seperti sungai dan proses-prosesnya yang terjadi secara rinci. Langkah penelitian yang dapat dilakukan berupa pembuatan penampang melintang pada setiap kelokan-kelokan sungai yang ada, dan pada daerah yang mungkin menjadi sumber pencemar, dan setiap dataran banjir yang ada. Pembuatan penampang melintang dan vertikal dilakukan dengan membuat pemboran vertikal untuk mengetahui perubahan vertikal dan horisontal lapisan batuan yang ada baik secara fisik maupun kimia. Sehingga penampang yang dibuat dapat memberikan gambaran setiap perubahan fisik dan kimia lapisan batuan secara vertikal dan horisontal dan kemungkinan sebaran logam pencemar yang ada pada aliran sungai.  
Berdasarkan uraian di atas, profil lingkungan yang ada dan penelitian yang dilakukan maka pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana lingkungan oleh kegiatan penambangan bijih besi, batubara dan bahantambang lainnya, harus dilakukan pada skala mikro, yaitu di sekitar lokasi penambangan, perkebunan dan HPH, atau kegiatan perekonomian lainnya dan secara makro di DAS Tabanio, DAS Kintap, DAS Asam-asam, DAS Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah. Sehingga  pengelolaan lingkungan secara makro pada setiap kegiatan yang ada dapat dilakukan secara terpadu antara karakteristik alami daerah melalui profile lingkungan hidup, tata guna lahan yang ada, tingkat kerusakan lingkungan dan pola hidup para pemangku  kepentingan terhadap lingkungannya.  
4.            KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang  telah dilakukan maka :
a.       Profile lingkungan hidup Pelaihari telah memiliki parameter yang melebihi batas baku mutu yang telah ditentukan. Namun berdasarkan analisis spasial pada sebaran pengambilan contoh dan lokasi tambang bijih besi yang ada, maka penyebabnya  belum dapat dipastikan akibat penambangan, karena sepanjang tata guna lahan sepanjang aliran sungai dipergunakan oleh kegiatan lain, misalnya perkebunan karet, kelapa sawit, dll
b.      Di Sungai Bakar dan Tampang kandungan Fe total air permukaan melebihi batas ambang, meski di daerah ini terdapat penambangan bijih besi. Harus dipertimbangkan secara cermat apakah betul Fe total berlebih yang terjadi diakibatkan oleh kegiatan penambangan, terjadi secara alami atau oleh kegiatan lainnya. Karena jarak yang jauh antara lokasi penambangan bijih besi dan tempat  pengambilan dan pengukuran sampel yang dipergunakan untuk pembuatan profile lingkungan hidup Kabupaten Tanah Laut memungkinkan adanya kegiatan selain kegiatan penambangan bijih besi.  
c.       Potensi pencemaran Cr(VI) di tambang bijih besi yang diukur hanya di Sumber Mulia. Penambangan bijih besi di lokasi lain belum tentu akan menimbulkan  Cr(VI) di atas baku mutu, karena genesa bijih besi yang berbeda akan mengakibatkan dampak yang berbeda pula.
d.      Pembaruan data profile Lingkungan Hidup daerah harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui setiap perubahan lingkungan yang terjadi.
e.       Dalam pengelolaan dampak lingkungan industri pertambangan di Kabupaten Tanah Laut, maka secara garis besar dapat digolongkan dalam dua (3) kelompok besar, yaitu penambangan bijih besi di Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung, yang merupakan daerah tengah Kabupaten Tanah Laut; penambangan batubara di kecamatan Kintap, Jorong dan Batu Ampar, yang merupakan bagian timur dan tengah; dan penambangan mineral non logam yang meliputi daerah penambangan bijih besi dan batubara, karena mineral non logam sebagian besar terdapat di kedua daerah penambangan ini. 
f.       Dalam melakukan pengelolaan dampak lingkungan regional berdasarkan daerah aliran sungai dan pendekatan gemorfologi, maka harus dilakukan pemetaan rinci morfologi lokasi tambang dan morfologi sungai dan proses-proses utama yang terjadi seperti erosi, pengendapan dan banjir yang berpengaruh terhadap morfologi lateral dan vertikal sungai. Khususnya di daerah penambangan bijh besi di sepanjang aliran sungai di Kecamatan Bajuin dan Pelaihari dan sekitarnya
g.      Pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana lingkungan penambangan bijih besi harus dilakukan pada skala mikro, yaitu di sekitar lokasi penambangan, perkebunan dan HPH atau kegiatan perekonomian lainnya, yang secara makro terjadi di DAS Tabanio di Kecamatan Bajuin, Pelaihari, dan Takisung.
h.      Pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana lingkungan penambangan batubara harus dilakukan pada skala mikro, yaitu di sekitar lokasi penambangan, dengan mempertimbangan juga pengaruh mikro pengguna lahan lainnya seperti perkebunan dan HPH atau kegiatan perekonomian lainnya, yang secara makro terjadi di DAS Kintap, DAS Asam-asam, DAS Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah di wilayah Kecamatan Kintap, Jorong, Batu Ampar dan Panyipatan.
i.        Pengelolaan lingkungan penambangan mineral non logam dan batuan meski belum ada baku mutunya, namun harus mematuhi persyaratan lingkungan yang termuat pada UU Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU lingkungan beserta turunan-turunannya yang ada untuk meminimalisasi dampaknya terhadap lingkungan
j.        Pengelolaan lingkungan skala makro pada setiap kegiatan yang ada, seperti penambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, perikanan harus  dilakukan secara terpadu sehingga integrasi antara karakteristik alami berbagai daerah, tata guna lahan, profile lingkungan hidup daerah, pengguna tata guna lahan yang ada, tingkat kerusakan lingkungan yang telah terjadi dan dampak pola kegiatan para pemangku  kepentingan terhadap lingkungannya dapat dipantau dan diawasi sehingga secara bersama-sama dapat mengambil tindakan bersama untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang akan, telah dan sedang terjadi.


Komentar

Postingan Populer