Pengelolaan lingkungan Terpadu Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan
Pengelolaan lingkungan Terpadu Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan | |||
Tugas Review Jurnal MK Pengelolaan Lingkungan Tambang
|
|||
YOSI MUTIARA PERTIWI 13513175
LISA GUSTIA NORMA MUNGKARI 13513184
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Judul
Pengelolaan lingkungan Terpadu Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten
Tanah Laut, Kalimantan Selatan
Penulis
Hidir Tresnadi Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral,
BPPT, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia Hidir.tresnadi@bppt.go.id
Jurnal
NATIONAL CONFERENCE
ON CONSERVATION FOR BETTER LIFE 2014
November,22th 2014, Semarang
State University - Central Java – Indonesia
Abstrak
Kabupaten Tanah Laut memiliki potensi
sumberdaya mineral dan batubara dan telah ditetapkan sebagai wilayah
pertambangan(WP) dalam tata ruang nasional, yang mempunyai WUP Mineral
Logam, WUP Batubara, dan WUP Bukan
Logam dan Batuan. WUP Logam, khususnya
bijih besi tersebar di DAS S Tabanio yang tercakup di Kecamatan Pelaihari,
Bajuin dan Takisung. Penambangan ini
harus mematuhi PerMenLH no
21 tahun 2009 tentang baku mutu air limbahnya. Sedang WUP batubara terdapat
di DAS S Kintap, DAS S. Asam-asam, DAS
S. Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS
Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah
yang meliputi Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Jorong dan Kecamatan Kintap,
yang dalam kegiatan penambangannya maka harus patuh pada baku mutu air limbah
pertambangan batu bara (KepMenLH No 113 tahun 2003). Pengelolaan lingkungan
industri penambangan di Kabupaten Tanah Laut harus dilakukan secara berbeda
karena karena daerah Kabupaten Tanah Laut bagian timur merupakan daerah
penambangan batubara sedang daerah Kabupaten Tanah Laut bagian tengah
merupakan kegiatan penambangan bijih besi dan mineral logam lainnya. Sehingga
sumber pencemarnya pun berbeda, pencemar utama lingkungan terhadap DAS di
Jorong, Kintap, Batu Ampar, dan Panyipatan adalah Air asam tambang (AMD) dan
logam berat seperti Fe, Mn dan Al, sedang kemungkinan pencemar utama terhadap
DAS Tabanio di Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung, adalah logam berat
Cr dan logam berat lainnya seperti Fe, Mn, Cu, Zn, dan Pb. Jika dibandingkan
dengan profile lingkungan daerah kabupaten Tanah Laut, maka pada saat ini
dampak lingkungan kegiatan penambangan hanya terjadi di lokasi penambangan
saja, baik Cr pada tambang bijih besi di Sumber Mulia, maupun AMD yang
mengakibatkan penurunan pH di lokasi-lokasi yang berkaitan dengan lahan
gambut dan keberadaan lapisan batubara., seperti di Kitap dan Jorong. Meski profile
lingkungan yang ada menunjukkan bahwa beberapa parameter telah melebih batas
ambang, seperti kekeruhan, konsentrasi NO3, NH3, BOD,
COD, dan DO di Bajuin dan Jorong tapi penyebabnya belum jelas apakah berasal
dari pertambangan atau kegiatan lainnya. Namun sekarang dan masa datang
kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan harus dilakukan secara terpadu
di sepanjang DAS yang ada dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang
menggunakan lahan di sepanjang DAS yang ada, dengan titik berat AMD di
Kintap, Jorong, Batu Ampar dan Panyipatan; dan Cr dan logam berat lain di
Bajuin, Pelaihari dan Takisung.
Kata
Kunci : Batubara, Bijih Besi, DAS, pH, Pengelolaan Lingkungan Terpadu.
Tujuan Penelitian
Pengelolaan lingkungan Terpadu Sumberdaya Mineral dan Batubara di Kabupaten
Tanah Laut, Kalimantan Selatan diharapkan
mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di di Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan dan mampu
memberikan alternatif pengelolaan yang berwawasan lingkungan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
Latar Belakang
Kabupaten Tanah Laut memiliki potensi sumberdaya mineral dan
batubara, baik yang sudah ditambang maupun
yang belum. Endapan yang sudah ditambang adalah bijih besi yang tersebar di
Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung. Endapan bijih besi memiliki
karakteristik yang berbeda sesuai dengan genesa dan keterdapatannya pada
batuan induknya. Kabupaten Tanah
Laut juga memiliki endapan batubara yang tersebar di Kecamatan Kintap,
Jorong. Batu Ampar dan Panyipatan. Selain itu juga terdapat sebaran bahan
tambang mineral non logam yang terdapat di Kecamatan Bajuin, Pelaihari, Takisung,
Kintap, Jorong. Batu Ampar dan Panyipatan. Oleh karena perlu dilakukan
pengelolaan lingkungan secara terpadu terhadap penambangan bijih besi,
batubara dan mineral non logam dan batuan yang terdapat di wilayah ini.
Dalam penambangan bijih besi, ada peraturan yang harus dipatuhi oleh
setiap kegiatan pertambangan bijih besi, PerMen LH No 21 Tahun 2009. Sedang
dalam penambangan batubara maka harus mematuhi baku mutu air limbah
penambangan batubara sesuai dengan KepMenLH No. 113 of 2003. Pada sisi lain Profil Lingkungan Hidup di
Kabupaten Tanah Laut menjadi penting sebagai batas ambang kualitas lingkungan
daerah yang dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan dalam
mengambil keputusan untuk mengelola lingkungan dalam menjaga dan melindungi
kesehatan masyarakat. Dalam pengelolaan dampak lingkungan bijih besi yang
perlu diperhatikan adalah timbulnya pencemaran logam berat, seperti Fe, Mn,
Cr, dll karena batuan pembawa bijih besi merupakan batuan ultrabasa yang kaya
akan logam berat. Sedang pada dampak lingkungan pertambangan batubara adalah
terjadinya pencemaran oleh pembentukan air asam tambang yang menimbulkan
terjadinya penurunan pH pada badan air di tambang dan sekitar tambang.
Umumnya lebih
daripada 90 % beban logam di sungai akan ditransportasikan dalam fasa
padatan, yang terserap sebagai coating
(lapisan) pada permukaan partikel atau bergabung dalam butiran-butiran
mineral. Dengan demikian proses
geomorfik fluivial menjadi penting dalam transportasi dan berpindahnya
logam-logam berat yang berasal dari lokasi-lokasi tambang.
Air asam
tambang (AMD) merupakan masalah lingkungan di negara-negara yang memiliki
sejarah industri pertambangan yang lama hingga sekarang. Pencegahan
pembentukannya atau mitigasi AMD dari sumbernya biasanya lebih disukai, meski
terkadang tidak cocok untuk dilakukan di semua tempat, karena harus
mengumpulkan, mengolah dan menyalurkan air tersebut yang sudah memiliki pH
normal ke lingkungan di sekitarnya. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk
remediasi air asam tambang, baik melalui mekanisme kimia dan biologis untuk
menetralisir AMD dan menghilangkan logam dari drainase air tambang.
Teknologi pengolahan air asam tambang konvensional mahal dalam
pengoperasiannya. Sehingga salah satu metoda yang yang disukai adalah
menggunakan passive treatment yang
berbiaya rendah dalam menghasilkan air bebas polusi, dan mendorong tanggung
jawab komunitas masyarakat mengolah air asam tambang melalui penggunaan
sistim pengolahan air asam tambang dengan wetlands.
Wetlands ini berfungsi menyerap dan
mengikat logam berat dan mengendapkannya secara perlahan sebagai endapan
sedimen untuk menjadi bagian dari siklus geologi.
Metode
Penelitian
a.
Studi literatur daerah
penelitian
b.
Survey lapangan daerah
penelitian
c.
Pengambilan contoh air
dan tanah Daerah Penelitian, di Sumber Mulia, Pelaihari
d.
Pengujian Laboratorium
sampel penelitian
e.
Pengolahan dan penyajian
data dan informasi penelitian, yang disajikan baik dalam bentuk statistik
grafis maupun informasi geografi
f.
Analisis dan Pembahasan
g.
Kesimpulan dan Saran
Hasil
dan Pembahasan
Berdasarkan
profill lingkungan hidup yang ada (KLH Kab Tanah Laut, 2007), maka telah
terjadi :
a.
Di Pelaihari, desa Bajuin, Belayang dan Telaga,
pencemaran air permukaan, yang lebih disebabkan oleh kekeruhan akibat sedimentasi
yang tinggi. Di kecamatan Jorong, di desa Sawarangan, Jorong, Asam-asam, dan
Muara Asam-asam sedang di Kecamatan Kintap terjadi di Muara Kintap dan Kintapura.
b.
Di wilayah pesisir, Telaga dan Tampang, terjadi tingkat keasinan akibat kandungan
klorida,
c.
Di Pusat Kota, Jln Datu Insad, Sungai Bakar,
Tampang dan Telaga, kandungan Mn dan
Fe Total berada di atas Baku Mutu. Sementara di Jorong, terjadi di desa
Jorong dan Simpang Empat Asam-asam
d.
Dari 20 sampel air yang analisis di laboratorium
terhadap kadar bakteri colli total, hanya 4 sampel yang mempunyai nilai di
bawah baku mutu air klas I yang mempunyai toleransi (ambang) kandungan
bakteri colli dalam air 1000 MPN/100 ml. Sementara dari 16 sampel yang
dianalisis di wilayah kajian mempunyai kandungan bakteri colli berkisar
antara 1100 - 2400 MPN/100 ml, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar tubuh perairan pada semua satuan ekosistem di wilayah kajian sudah
tercemar oleh bakteri colli. . Selain itu bakteri colli total ditemukan dengan konsentrasi yang tinggi di Sungai
Asam-asam.
e.
Berdasarkan hasil pengukuran pencemaran suara di
lapangan, ternyata hampir semua lokasi yang dijadikan sampel, terutama di
wilayah permukiman, mempunyai index kebisingan di atas ambang yang
diperkenankan, Dari 28 lokasi yang disurvei, hanya 9 lokasi yang masih di
bawah syarat kebisingan. Berdasarkan data yang disajikan di atas, terbukti
bahwa kondisi sebagian lokasi penambangan di wilayah kajian masih memenuhi
Baku Mutu Udara Ambient Nasional (BMUAN) menurut Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1999, sehingga untuk saat ini belum menjadi masalah.
f. TSS (residu terlarut), paramater yang erat
dengan kekeruhan, karena merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kekeruhan pada tubuh perairan, yang disebabkan karena proses alami berupa
sedimentasi yang tersuspensi di tubuh perairan. Ambang baku mutu untuk TSS
sebesar 50 mg/lt. Lokasi-lokasi yang
menunjukkan TSS di atas baku mutu air kelas I terdapat di
Kecamatan Pelaihari, di desa Bajuin, Sungai Bakar, Telaga, dan
Tampang, sedang Kecamatan di Jorong, di Sawarangan, Jorong, Sipang Empat
Asam-asam (Profil LH Kab Tanah Laut 2007)
g.
TDS yang tinggi juga
ditemukan di sumur pada permukiman di Sabuhur.
h.
Konsentrasi NO3, NH3,
BOD, COD, dan DO yang melebihi Baku Mutu terjadi di kecamatan Pelaihari di desa Sungai Bakar, Telaga,
Tampang dan Bajuin; di Kecamatan Jorong, di desa Sawarangan, Sabuhur, Jorong
dan Muara Asam-asam; Di Kecamatan Kintap, di desa Kintapura dan Sungai
Balarangan
i.
Di Desa Bajuin, Tampang, Telaga dan pusat Kota,
Jln datu Insad, adanya pH yang rendah yang berakibat pada keasaman air, Keasaman
pada tubuh perairan dapat disebabkan oleh keberadaan lapisan gambut atau
batubara, interaksi antara batuan dan air, serta produk dari pertambangan
terbuka yang marak, terutama di Jorong dan Kintap. Pengukurann di Pelaihari
memiliki pH sekitar 5,92 hingga 6 pada air tanah, di Kecamatan Jorong, di
desa Simpang Empat Asam-asam pH mencapai 2,9 pada air permukaan. DI Kecamatan
Kintap berkisar antara 3,53 hingga 6,01
j.
Sungai Tabonio merupakan sumber air baku PDAM
Pelaihari. Menurut pihak PDAM, Sungai Tabonio tercemar oleh limbah
penambangan biji besi. Hasil pemeriksaan laboratorium, Sungai Tabonio
tercemar oleh Fe (besi). Kadarnya mencapai 25,356 miligram per liter dari
standar baku mutu (batas ambang) 5 mg. Keadaan ini berarti 5 kali lipat dari kadar
standar.
Parameter pH yang rendah (asam), serta tingginya DHL yang
dijumpai di penambangan emas dengan nilai mencapai 1.500 mmhos/cm (agak asin). TDS dan Fe (total), yaitu di embung tambang bijih
besi dan sumur monitoring pada TPA (hampir mencapai 4000 ppm), sementara
kandungan TSS serta logam berat Mn ditemukan di dua lokasi penambangan emas
dengan konsentrasi besar (>15 ppm). Pada lokasi penambangan ini unsur
sulfat juga terdeteksi cukup tinggi (>80 ppm).
3.1.
Pengelolaan Lingkungan Penambangan Bijih Besi
Di
daerah Kecamatan Pelaihari, Bajuin dan Takisung daerah penambangan bijih besi
terdapat pada DAS Tabanio dengan luas 62,300 Ha (62,3 km2).
Di
Tambang Bijih Besi Pemalongan, Sumber Mulia dan Sungai Bakar, sungai di
sekitarnya tak memiliki kekeruhan yang berarti, airnya tetap jernih. Berati
bahwa kegiatan penambangan tidak menumbulkan kekeruhan dalam kegiatannya.
Namun ketika hujan maka air yang berasal dari sistim penirisan tambang
mengakibatkan kekeruhan pada air di sekitarnya. Meski kekeruhan tersebut
tidak hanya berasal dari kegiatan penambangan, karena secara alami pada saat
hujan kekeruhan juga berasal dari air limpasan yang berasal dari tanah
terbuka yang berada di sekitar aliran sungainya atau dari daerah hulunya
akibat erosi dan bukaan lahan oleh kegiatan manusia seperti perkebunan dll.
Yang patut dikontrol adalah lokasi titik penaatan kualitas lingkungan pada
setiap lokasi penambangan, yang merupakan batas penaatan keluaran dari sistim
remediasi drainase penambangan, yang harus memenuhi baku mutu lingkungan pada peraturan yang
ada.
3.2.
Pengelolaan Lingkungan Penambangan Batubara
Daerah penambangan batubara terdapat di Kecamatan Kintap,
Jorong, Batu Ampar dan N
Panyipatan, sehingga pengelolaan dampak di tujukan secara
mikro di daerah penambangan dan secara regional di daerah aliran sungai yang
terdapat di keempat kecamatan, yaitu DAS Kintap, DAS Asam-asam, DAS
Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS
Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah, yang secara keseluruhan luasnya 268526,24
Ha.
Dampak penambangan batubara berupa air asam tambang akan
terbentuk pada sistim drainase air penambangannya jika tidak dilakukan
remediasi terhadap penurunan pH. Jika pada sistim drainase terjadi pelepasan
logam berat, maka remediasi dapat ditambahkan dengan material absorbent yang dapat menyerap logam-logam tersebut, misalnya
sabut kelapa, limbah organik lainnya dll. Selain itu dapat pula dilakukan
dengan phytoremediation, yang mempergunakan
tanaman yang dapat menyerap logam-logam berat seperti eceng gondok, dll dari
badan air.
3.3.
Pengelolaan Lingkungan Penambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pengelolaan lingkungan tambang bahan galian lainnya,
umumnya dilakukan upaya untuk mencegah terbentuknya kekeruhan pada badan air
di sekitar penambangan. Namun ini tetap memerlukan penelitian kemungkinan
terjadinya pencemaran oleh logam-logam berat. Karena pencemaran yang terjadi
selain dapat berasal dari bahan galian, juga dapat berasal dari country rock
atau host rock atau batuan sekitar bahan galian tambang berada. Jadi perlu
tetap dilakukan pengawasan dan pemnatauan terhadap berbagai kemungkinan
terjadinya pencemaran di tambang terhadap badan-badan air di sekitar tambang,
yang dapat mencemarai DAS yang ada di dekatnya.
3.4.
Pengelolaan DAS Lingkungan Daerah penambangan
Secara
hidrogeologi maka, daerah penelitiain memiliki karakteristik batuan tidak cukup mampu untuk menyimpan air,
butir tanah didominasi fraksi lempung yang relatif mudah jenuh air dan kedap,
sehingga pada daerah-daerah yang rendah (lowland)
menjadi banjir dan penggenangan setiap tahunnya. Daerah-daerah di sepanjang
aliran sungai, sekitar rawa-rawa, dataran fluvio-marin, dan daerah sekitar
muara, merupakan daerah paling tinggi mendapatkan ancaman banjir dan
penggenangan. Daerah Aliran Sungai (DAS) Tabanio termasuk dalam daerah rawan
bahaya banjir tinggi.
Daerah penambangan ini belum dipetakan secara rinci
geomorfologi dan hidrogeologinya, yang dilakukan untuk mendapatkan mitigasi
bencana dampak pertambangan secara mikro terhadap morfologi bumi, seperti
sungai dan proses-prosesnya yang terjadi secara rinci. Langkah penelitian
yang dapat dilakukan berupa pembuatan penampang melintang pada setiap
kelokan-kelokan sungai yang ada, dan pada daerah yang mungkin menjadi sumber
pencemar, dan setiap dataran banjir yang ada. Pembuatan penampang melintang
dan vertikal dilakukan dengan membuat pemboran vertikal untuk mengetahui
perubahan vertikal dan horisontal lapisan batuan yang ada baik secara fisik
maupun kimia. Sehingga penampang yang dibuat dapat memberikan gambaran setiap
perubahan fisik dan kimia lapisan batuan secara vertikal dan horisontal dan
kemungkinan sebaran logam pencemar yang ada pada aliran sungai.
Berdasarkan uraian di atas, profil lingkungan yang ada dan
penelitian yang dilakukan maka pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana
lingkungan oleh kegiatan penambangan bijih besi, batubara dan bahantambang
lainnya, harus dilakukan pada skala mikro, yaitu di sekitar lokasi
penambangan, perkebunan dan HPH, atau kegiatan perekonomian lainnya dan
secara makro di DAS Tabanio, DAS Kintap, DAS Asam-asam, DAS Sawarangan, DAS
Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan, DAS Sebukur, DAS Danau, DAS
Pandan, dan DAS Sanipah. Sehingga
pengelolaan lingkungan secara makro pada setiap kegiatan yang ada
dapat dilakukan secara terpadu antara karakteristik alami daerah melalui
profile lingkungan hidup, tata guna lahan yang ada, tingkat kerusakan
lingkungan dan pola hidup para pemangku
kepentingan terhadap lingkungannya.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan maka :
a.
Profile lingkungan hidup Pelaihari telah memiliki
parameter yang melebihi batas baku mutu yang telah ditentukan. Namun
berdasarkan analisis spasial pada sebaran pengambilan contoh dan lokasi
tambang bijih besi yang ada, maka penyebabnya belum dapat dipastikan akibat penambangan,
karena sepanjang tata guna lahan sepanjang aliran sungai dipergunakan oleh
kegiatan lain, misalnya perkebunan karet, kelapa sawit, dll
b.
Di Sungai Bakar dan Tampang kandungan Fe total air
permukaan melebihi batas ambang, meski di daerah ini terdapat penambangan
bijih besi. Harus dipertimbangkan secara cermat apakah betul Fe total
berlebih yang terjadi diakibatkan oleh kegiatan penambangan, terjadi secara
alami atau oleh kegiatan lainnya. Karena jarak yang jauh antara lokasi
penambangan bijih besi dan tempat
pengambilan dan pengukuran sampel yang dipergunakan untuk pembuatan
profile lingkungan hidup Kabupaten Tanah Laut memungkinkan adanya kegiatan
selain kegiatan penambangan bijih besi.
c.
Potensi pencemaran Cr(VI) di tambang bijih besi
yang diukur hanya di Sumber Mulia. Penambangan bijih besi di lokasi lain
belum tentu akan menimbulkan Cr(VI) di
atas baku mutu, karena genesa bijih besi yang berbeda akan mengakibatkan
dampak yang berbeda pula.
d.
Pembaruan data profile Lingkungan
Hidup daerah harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui setiap perubahan
lingkungan yang terjadi.
e.
Dalam pengelolaan dampak
lingkungan industri pertambangan di Kabupaten Tanah Laut, maka secara garis
besar dapat digolongkan dalam dua (3) kelompok besar, yaitu penambangan bijih
besi di Kecamatan Bajuin, Pelaihari dan Takisung, yang merupakan daerah
tengah Kabupaten Tanah Laut; penambangan batubara di kecamatan Kintap, Jorong
dan Batu Ampar, yang merupakan bagian timur dan tengah; dan penambangan
mineral non logam yang meliputi daerah penambangan bijih besi dan batubara,
karena mineral non logam sebagian besar terdapat di kedua daerah penambangan
ini.
f.
Dalam melakukan pengelolaan dampak lingkungan regional
berdasarkan daerah aliran sungai dan pendekatan gemorfologi, maka harus
dilakukan pemetaan rinci morfologi lokasi tambang dan morfologi sungai dan
proses-proses utama yang terjadi seperti erosi, pengendapan dan banjir yang
berpengaruh terhadap morfologi lateral dan vertikal sungai. Khususnya di
daerah penambangan bijh besi di sepanjang aliran sungai di Kecamatan Bajuin
dan Pelaihari dan sekitarnya
g.
Pengelolaan lingkungan dan
mitigasi bencana lingkungan penambangan bijih besi harus dilakukan pada skala
mikro, yaitu di sekitar lokasi penambangan, perkebunan dan HPH atau kegiatan
perekonomian lainnya, yang secara makro terjadi di DAS Tabanio di Kecamatan
Bajuin, Pelaihari, dan Takisung.
h.
Pengelolaan lingkungan dan
mitigasi bencana lingkungan penambangan batubara harus dilakukan pada skala
mikro, yaitu di sekitar lokasi penambangan, dengan mempertimbangan juga
pengaruh mikro pengguna lahan lainnya seperti perkebunan dan HPH atau
kegiatan perekonomian lainnya, yang secara makro terjadi di DAS Kintap, DAS
Asam-asam, DAS Sawarangan, DAS Batang Gayang, DAS Kepunggur dan Kandangan,
DAS Sebukur, DAS Danau, DAS Pandan, dan DAS Sanipah di wilayah Kecamatan
Kintap, Jorong, Batu Ampar dan Panyipatan.
i.
Pengelolaan lingkungan
penambangan mineral non logam dan batuan meski belum ada baku mutunya, namun
harus mematuhi persyaratan lingkungan yang termuat pada UU Pertambangan
Mineral dan Batubara serta UU lingkungan beserta turunan-turunannya yang ada
untuk meminimalisasi dampaknya terhadap lingkungan
j.
Pengelolaan lingkungan skala makro
pada setiap kegiatan yang ada, seperti penambangan, perkebunan, kehutanan,
pertanian, perikanan harus dilakukan
secara terpadu sehingga integrasi antara karakteristik alami berbagai daerah,
tata guna lahan, profile lingkungan hidup daerah, pengguna tata guna lahan
yang ada, tingkat kerusakan lingkungan yang telah terjadi dan dampak pola kegiatan
para pemangku kepentingan terhadap
lingkungannya dapat dipantau dan diawasi sehingga secara bersama-sama dapat
mengambil tindakan bersama untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang akan,
telah dan sedang terjadi.
|
Komentar
Posting Komentar